Ribuan warga mengunjungi makam Kyai Candrabumi di Dusun Gupitan, Podosoko, Candimulyo, Kabupaten Magelang. Mereka memercayai kekuatan supranatural di makam tersebut.
Sebagai bentuk penghormatan, menjelang Ramadan di bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa ini diadakan tradisi nyadran di lokasi. Peserta nyadran tak hanya dari Magelang, namun juga beberapa kota lainnya.
Adi Daya, Mungkid
Peziarah antara lain berasal dari Surakarta, Jogja, Wonosobo dan Surabaya. Juga ada yang mengaju dari luar Jawa seperti Lampung, Riau, dan Jambi. Sama seperti peziarah lainnya mereka berbondong-bondong datang mengikuti penyelenggaraan nyadran Kyai Candrabumi itu.
Makam Kyai Candrabumi dihormati oleh masyarakat setempat maupun para peziarah. Sampai saat ini banyak yang meyakini makam Kyai Candrabumi memiliki nila magis sehingga banyak orang datang memohon berkah. Karena itu setiap Ruwah diadakan tradisi nyadran yang dihadiri oleh ribuan peziarah.
Pengeramatan makam Kyai Candrabumi berawal usai Agresi Militer II Belanda c1948-1949. Banyak orang datang dari luar daerah. Terutama tentara yang selamat dari kejaran tentara Belanda karena berlindung di makam tersebut.
Berita tersebut lalu tersiar dari mulut ke mulut sehingga banyak orang yang ikut-ikut datang ke makam untuk berziarah. Terutama di malam Selasa Kliwon atau pada malam Jumat. Orang yang datang berziarah ke makam Kyai Candrabumi, pada umumnya untuk
tujuan kebaikan. Misalnya agar bisa diterima sebagai pegawai, kesembuhan dari penyakit, keselamatan dan banyak rezeki, keturunan dan lain sebagainya.
Menurut Juru Kunci makam, Mbah Mujio mengungkapkan ada dua versi soal Kyai Candrabumi. Yaitu dia adalah pengikut Pangeran Diponegoro. Setelah Diponegoro ditangkap di Magelang, pengikutnya melarikan diri ke pedalaman Magelang. “Versi lain Kyai Candrabumi adalah anak raja Jogja yang mengembara,” ujar Mbah Mujio.
Penyelenggaran nyadran di Gupitan, para peziarah membawa perlengkapan sesuai dengan yang dinazarkan. Seperti nasi tumpeng beserta lauk pauknya. Selain itu ada yang membawa hewan hidup berupa ayam atau kambing.
Lastri, 42, warga Dusun Karanglo, Podosoko, Candimulyo, mengaku dirinya saat penyelenggaran nyadran pernah membawa hewan hidup berupa ayam ke makam Kyai Candrabumi.
Itu sebagai wujud syukur kepada Tuhan karena merasa nazarnya telah diterima. “Ketika itu saya pernah sakit perut, lalu bernazar apabila sembuh akan membawa ayam,” cerita dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesenian dan Nilai Tradis, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Muhammad Mudhirun mengatakan sebagai tradisi nyadran perlu dilestarikan. Mengingat nilai tradisi banyak sekali di Kabupaten Magelang yang dirasakan mulai menghilang.Mudhirun mengajak masyarakat untuk memperkuat iman dan akidah agar tidak tergores dari isu-isu negatif, dan ajaran yang radikal dan belum tentu benar. Instansinya mendukung wisata religi yang ada di Podosoko Candimulyo.
“Bila nanti dibuatkan buku tentang tradisi di Kabupaten Magelang salah satunya Makam Candrabumi yang dikemas sedemikian rupa bekerjasama dengan panitia. Pemkab akan menyambut positif,” ujarnya. (*/kus/Radarjogja.co.id)
Melihat Tradisi Nyadran di Makam Kyai Candrabumi
Redaksi | Rabu, 04 Juli 2012 | dJogja info
Label:
jateng
0 Comments