Berita Terbaru :
Kebun Emas 250 x 250
Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan

Asal Mula Makam Imogiri

Makam raja-raja mataram islam
Makam Imogiri merupakan kompleks makam Raja-Raja Mataram Islam beserta keturunannya, yakni Raja-raja yang bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kompleks Makam Imogiri terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul dan dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Konon, Sultan Agung sudah mempersiapkan makam tersebut sebelum dirinya wafat. Bagaimana kisahnya? Simak selengkapnya dalam cerita Asal Mula Makam Imogiri berikut ini!

Di Kerajaan Mataram Islam, tersebutlah raja bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Ia merupakan raja ke-3 Kerajaan Mataram Islam yang terkenal arif dan bijaksana. Di bawah kepemimpinannya, rakyat Mataram senantiasa hidup aman, tenteram, dan makmur. Itulah sebabnya, ia sangat dicintai dan dihormati oleh seluruh rakyatnya.

Selain kharismatik, Sultan Agung memiliki kesaktian yang tinggi. Konon, ia mampu ke Mekah secara gaib untuk Shalat Jumat di sana. Karena seringnya ke Mekah, Sultan Agung kenal baik dengan beberapa ulama di sana, baik ulama Arab maupun ulama dari Indonesia yang sedang berada di Mekah. Dari perkenalan itu, mereka pun kemudian menjalin persahabatan dan Sultan Agung sering diajak oleh para sahabatnya untuk berkeliling kota Mekah dan sekitarnya.

Suatu waktu, ketika sedang berjalan-jalan bersama seorang ulama, Sultan Agung sampai pada suatu tempat yang tanahnya berbau harum. Ia amat tertarik pada tempat itu. Maka, timbullah keinginannya agar dimakamkan di tempat itu jika wafat kelak. Niat itu kemudian ia sampaikan kepada sahabatnya. Namun, ulama itu melarangnya.

“Jangan, Sultan!” cegah ulama itu.
“Kenapa, Kyai?” tanya Sultan Agung penasaran.
“Bukankah Sultan tahu sendiri bahwa seluruh rakyat Mataram amat mencintai Sultan. Jika Tuanku dimakamkan di Mekah, tentu mereka tidak bisa mengunjungi makam raja mereka,” ujar ulama itu.
Nasehat ulama itu memang masuk akal. Namun, Sultan Agung tetap bersikeras ingin dimakamkan di tempat tersebut. Melihat sikap Raja Mataram itu, sang Ulama pun mengambil segenggam tanah yang harum itu.

“Ampun, Tuanku! Bawalah tanah ini ke negeri Tuan. Sesampai di sana, lemparkanlah tanah ini ke selatan. Niscaya tempat jatuhnya tanah itu juga akan berbau harum dan di tempat itulah Tuanku akan dimakamkan,” ujar ulama itu.

Sultan Agung pun menerima tanah itu dengan senang hati. Sekembalinya dari Mekah, ia mengambil separuh tanah itu lalu dilemparkan ke arah selatan. Tanah itu jatuh di Bukit Giriloyo, di daerah Bantul. Sultan Agung kemudian memerintahkan abdi dalem (pegawai keraton) untuk membuat makam yang dipersiapkan untuk dirinya.

“Pergilah ke Bukit Giriloyo dan bangunlah sebuah makam untukku,” titah Sultan Agung.
“Sendiko dawuh (siap laksanakan), Gusti Prabu,” jawab para abdi dalem.
Sultan Agung mengerahkan seluruh ribuan abdi dalem istana untuk membangun makam tersebut. Rupanya, pembangunan makam itu bukan sekadar menggali lubang, melainkan sebuah kompleks. Itulah sebabnya, pembangunan makam tersebut melibatkan ribuan orang. Untuk mengangkut batu bata dari keraton yang terletak di daerah Pleret ke Bukit Giriloyo, para abdi dalem merantingnya satu per satu dengan cara duduk bersila agar tidak rusak.

Paman Sultan Agung, Gusti Pangeran Juminah, ikut membantu mengawasi jalannya pembangunan makam. Namun, saat itu ia jatuh sakit. Bersamaan dengan pembangunan makam itu selesai, ia pun meninggal dunia. Maka, sang Paman dimakamkan di kompleks makam yang baru selesai dibangun itu. Oleh karena makam tersebut sudah digunakan untuk pamannya, Sultan Agung tidak ingin dimakamkan di tempat itu. Maka, ia pun berkata kepada abdi dalem istana.

“Kelak jika aku wafat, aku ingin pertama kali dimakamkan di pemakaman yang baru dibangun,” ungkapnya, “Selain itu, makam ini terlalu sempit untukku dan keluargaku kelak.”

Setelah pemakaman pamannya selesai, Sultan Agung kembali ke istana. Ia segera mengambil sisa tanah yang berbau harum dari Mekah itu lalu dilemparkannya ke arah selatan. Tanah itu pun jatuh di Bukit Merak, yang masuk ke dalam wilayah Desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Itulah sebabnya, Makam Imogiri juga dikenal dengan Makam Pajimatan.

Sultan Agung pun kembali memerintahkan para abdi dalem istana untuk membangun makam yang baru di tempat itu. Ia menginginkan agar makam itu dibangun menjadi beberapa bagian karena makam itu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Maka, dibangunlah sebuah makam pada bagian tengah paling atas Bukit Merak. Makam itu kelak akan menjadi makam Sultan Agung. Kemudian, di sekitar makam itu, dibangun pula beberapa makam yang akan digunakan oleh para keluarga sang Sultan.

Singkat cerita, Sultan Agung wafat pada tahun 1645. Ia pun dimakamkan di tempat itu yang kemudian menjadi induk makam dan disebut Kasultanangungan. Setelah itu, makam tersebut kemudian menjadi pemakaman seluruh keluarga sang Sultan dan Raja-raja Mataram setelahnya.

Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Makam Imogiri ini menjadi sebuah komplek makam yang luasnya mencapai 10 hektar. Di kompleks inilah sebagian besar Raja-raja Mataram Islam hingga pemerintahan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dimakamkan. Kompleks makam ini pun dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian sebelah barat dipergunakan sebagai makam Raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sedangkan bagian sebelar timur dipergunakan untuk makam Raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Demikian cerita Asal Mula Makam Imogiri dari daerah Bantul, Yogyakarta. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa raja yang arif dan bijaksana seperti Sultan Agung akan selalu dicintai dan dikenang oleh rakyatnya hingga akhir zaman. Sampai saat ini, makam Sultan Agung yang berada di kompleks Makam Imogiri selalu ramai dikunjungi oleh peziarah. (Samsuni/sas/258/05-11)

Diceritakan kembali oleh Samsuni | Sumber : Cerita Rakyat Nusantara

Fakta dan Legenda Keraton Yogya-Pangeran Diponegoro Yang Selama Ini Menjadi Rahasia

Tugu jogja jaman dulu
Yogyakarta di awal abad ke-19 adalah kota yang sangat indah. Willem van Hoogendorp (1795-1838) yang merupakan tangan kanan Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies (menjabat 1826-1830) bertandang ke Surakarta dan Yogyakarta, setelah 3 tahun perang menghancurkan bangunan-bangunan terbagus di kota itu.

“Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yang sangat luar biasa, tapi Djocja (Yogyakarta) dalam masa kejayaannya pastilah merupakan Versailles Jawa. Tidak sampai 1/10-nya yang tinggal utuh, tapi terlihat pada reruntuhan tembok yang besar-besar”, demikian yang dia catat.

Yogya yang damai menjadi kacau akibat kelicikan orang ini: H.W. Daendels

Menurut Residen Belanda (1848-1851) Baron A.H.W de Kock, Yogyakarta mencapai puncak kemakmurannya sekitar 1820. Dalam catatannya ia berkata, “Masa itu Djocja makmur, kaya dan indah. Negeri subur, cantik, asri, penuh gedung-gedung bagus, taman-taamn yang rapi dan tempat tetirah yang bagus-bagus. Makanan dan air berlimpah dan perdagangan berkembang”. Bangunan-bangunan di Yogya bahan temboknya berasal dari pertambangan batu kapur di Gamping. Rumah-rumah lain sekalipun terbuat dari kayu dan bambu di cat putih dan asri.

Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841), seorang pejabat tinggi Kerajaan Belanda mengatakan bahwa banyak pohon beringin tinggi-tinggi dan rindang di sepanjang jalan utama menuju keraton. Dan selepas jalan utama terdapat barisan rumah dan toko Tionghoa yang di sebelah baratnya terdapat rumah-rumah besar tempat tinggal pejabat pemerintah Belanda yang berhalaman luas dan mempunyai kolam. Di seberangnya berdiri Benteng Vredeburg. Sedangkan kawasan pemukiman di belakang benteng adalah pemukiman “kumuh”.

Sri Sultan Hamengkubuwono II pada tahun 1808 mempunyai 16 resimen prajurit keraton berjumlah 1.765 orang dan 976 diantaranya menyandang bedil dan tombak. Mereka mendapat gaji berupa tanah dan diberi tempat tinggal sangat dekat dengan keraton. Sebagian diantara mereka adalah prajurit bayaran dari Bali dan Bugis. Selain itu masih ada pasukan perempuan (prajurit keparak estri) berjumlah 300 orang, yang merupakan anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga kelas atas di pedesaan. Mereka mahir menunggang kuda dan menggunakan tombak.

Selain pasukan-pasukan itu, Sultan masih punya pasukan pejabat (prajurit arahan). Sebanyak 7.246 orang di dapat dari para pangeran, khususnya putra mahkota (Pangran Adipati Anom). Belum lagi 2.126 prajurit yang disediakan oleh para bupati. Jadi, misalnya, dalam keadaan darurat perang, Sultan bisa mengerahkan sekitar 10.000 prajurit dalam tempo singkat. Biaya pemeliharaan pasukan itu diambil dari pungutan dan kerja bakti penduduk desa.

Perjanjian Giyanti yang diteken tahun 1755 yang membagi tanah keraton Yogyakarta dan Surakarta sampai ke bagian sekecil-kecilnya, menurut Pangeran Diponegoro adalah sengaja dibuat Belanda untuk mengadu domba.

Pangeran Mangkubumi
Sketsa ini dibuat dengan arang. Inilah gambar satu-satunya yang menunjukkan Pangeran menggunakan pakaian Keraton

Pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran yang berbeda dari ningrat kebanyakan. Ia besar diluar istana dan amat dekat dengan rakyat. Berbeda dengan orang-orang ningrat lain dalam keraton yang belajar agama Islam secara sambil lalu, Diponegoro memperdalam agama Islam secara serius. Ditambah dengan kebiasaannya berpuasa dan bertapa di tempat-tempat terpencil, maka spiritualitasnya amat tinggi, serta membuatnya disegani dan ditakuti.

Pangeran yang terkenal saleh ini legendanya bagai mistik. Selama berkobarnya Perang Jawa pada 1825-1830, ia menjadi seperti yang diramalkan kakek buyutnya, Sultan Mangkubumi, benar-benar memberikan “kehancuran besar” bagi Belanda.

Sang Pangeran legendaris ini secara jujur mengakui kelemahannya sebagai penggemar perempuan sehingga ia mudah tergoda. Bagaimanapun juga, ia tetaplah dikenal sebagai seorang muslim yang saleh, yang sayangnya, niatnya untuk naik haji tidak pernah kesampaian.

Dan ia tetaplah seorang pahlawan!

Sumber : Forum Kompas 

Legenda RORO JONGGRANG

Legenda Roro Jonggrang tidak lepas dari sebuah candi didaerah perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah sebelah timur yaitu candi Prambanan.
Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.

Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala keinginannya.

Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.

Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.

Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.

“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.

Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang. “Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”, Tanya Bandung Bandawasa. “Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang.

Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat banyak.

Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.

Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja yang belum mereka selesaikan.

Roro Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi. Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana. Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami, membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.

Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok. Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.

Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”

Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso pun gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.

Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Joanggrang lalu menghampiri Bandung Bondowoso.

“Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.

Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang keseribu !”

Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan Candi Sewu atau Candi Seribu.

Asal Mula Gunung Merapi

Gunung Merapi terletak di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu daerah yang kini ditempati oleh Gunung Merapi masih berupa tanah datar. Oleh karena suatu keadaan yang sangat mendesak, para dewa di Kahyangan bersepakat untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang ada di Laut Selatan ke daerah tersebut. Namun setelah dipindahkan, Gunung Jamurdipa yang semula hanya berupa gunung biasa (tidak aktif) berubah menjadi gunung berapi. Apa yang menyebabkan Gunung Jamurdipa berubah menjadi gunung berapi setelah dipindahkan ke daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Gunung Merapi berikut ini!

* * *

Alkisah, Pulau Jawa adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada masa lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan, mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa Tengah.

Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk kedua empu tersebut.

Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur dengan bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar.

“Maaf, Empu! Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa Penyarikan.

Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk.

“Ada apa gerangan, Pukulun?[1] Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama.

“Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.

“Apakah permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami penuhi.”

Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat.

“Maafkan hamba, Pukulun! Hamba bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama.

“Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan.

“Benar kata Dewa Penyarikan, Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,” bujuk Empu Narada.

Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu.

“Maaf, Pukulun! Kami belum dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi.

Melihat keteguhan hati kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan mulai kehilangan kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka terpaksa mengancam kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu.

“Wahai, Empu Rama dan Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar Batara Narada.

Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki, mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.

Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru.

“Ampun, Batara Guru! Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor Batara Narada.

Mendengar laporan itu Batara Guru menjadi murka.

“Dasar memang keras kepala kedua empu itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru.

“Dewa Bayu, segeralah kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru.

Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Gunung Merapi dari Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, Indonesia. Hingga saat ini, kawah Gunung Merapi tersebut masih aktif dan sering mengeluarkan lahar disertai dengan hembusan awan panas. Sejak tahun 1548, gunung berapi ini sudah meletus sebanyak kurang lebih 68 kali. Hingga cerita ini ditulis (27/10/2010), Gunung Merapi kembali meletus dan mengakibatkan ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur, serta puluhan orang meninggal dunia, termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita atas adalah bahwa orang yang tidak mau mendengar nasehat akan mendapatkan celaka seperti halnya Empu Rama dan Empu Pamadi. Oleh karena enggan mendengar nasehat para dewa, akibatnya mereka tewas tertindih Gunung Jamurdipa. (Samsuni/sas/209/10-10)

[1] Pukulun berarti tuan, yaitu panggilan untuk dewa.

Sumber : ceritarakyatnusantara.com

Asal Mula Upacara Bekakak

Upacara Bekakak atau Saparan merupakan upacara adat masyarakat yang hingga kini masih diperingati oleh masyarakat di Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Hanya saja, manusia yang dimaksud dalam upacara ini yaitu tiruan manusia yang berwujud sepasang boneka pengantin dalam posisi duduk bersila, terbuat dari tepung ketan yang berisi cairan gula merah. Disebut Saparan karena upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar (Syafar), bulan kedua dalam kalender Hijriah (Islam). Menurut cerita, upacara Bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa dua orang abdi dalem (pegawai keraton) Sultan Hamengkubuwono I. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Upacara Bekakak.

* * * 

Pada 1755, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai raja baru, ia bermaksud mendirikan sebuah istana atau keraton sebagai tempat kediaman. Sembari menunggu pembangunan keraton itu selesai, Sultan memilih untuk berisitrahat di sebuah pesanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang, Sleman. Ketika itu, sebagian besar penduduk Ambarketawang bermata pencaharian sebagai pengumpul batu-batu gamping dari gunung kapur yang ada wilayah itu.

Sri Sultan Hamengkubuwono I tinggal di Ambarketawang bersama sejumlah abdi dalem. Dua abdi yang paling setia adalah sepasang suami istri bernama Kyai dan Nyai Wirasuta. Keduanya adalah abdi dalem penongsong, yaitu abdi dalem yang sehari-harinya bertugas memayungi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Ke mana pun sang Raja pergi, keduanya turut serta membawa payung kebesaran keraton.

Selain setia, Kyai dan Nyai Wirasuta termasuk abdi dalem Sri Sultan yang paling rajin. Di sela-sela menjalankan kewajibannya, keduanya memelihara beragam hewan seperti ayam, bebek, burung puyuh, merpati, kelinci, dan landak. Mereka amat menyayangi dan rajin merawat hewan-hewan peliharaan itu.

Hingga pada suatu ketika, datanglah utusan dari keraton hendak menemui Sri Sultan Hamengkubuwono I di tempat peristirahatannya.

“Ampun, Kanjeng Gusti,” lapor utusan itu sambil memberi hormat.

“Bagaimana perkembangan keraton kita?” tanya sang Sultan.

“Pembangunan keraton telah selesai dan siap untuk ditempati,” jawab utusan itu.

“Bagus, kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kami akan kembali ke keraton,” kata sang Sultan.

Keesokan harinya, Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta para abdi delam bersiap-siap untuk kembali ke keraton. Namun, Kyai Wirasuta dan istrinya masih merasa betah tinggal di Ambarketawang.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Bukannya hamba berdua tidak setia kepada Kanjeng Gusti. Izinkanlah hamba berdua tinggal di tempat ini untuk merawat tempat peristirahatan Kanjeng Gusti. Hamba berdua merasa betah tinggal di tempat ini. Lagipula, hewan peliharaan hamba sudah banyak. Sayang sekali kalau ditinggalkan,” pinta Kyai Wirasuta sembari menghaturkan sembah.

“Baiklah, jika itu sudah menjadi keinginan kalian. Rawatlah baik-baik pesanggrahan ini dan hewan-hewan kalian,” ujar sang Sultan.

“Terima kasih, Kanjeng Gusti,” ucap Ki Wirasuta, “Tapi, jika diperkenankan, bolehkah hamba membawa putra-putri hamba ke tempat ini?”.

Permintaan Kyai Wirasuta pun disetujui oleh sang Sultan. Sejak itulah, Kyai Wirasuta tinggal di daerah itu bersama istri dan dua putra, Raden Bagus Gombak dan Raden Bagus Kuncung serta dua putrinya, Roro Ambarsari dan Roro Ambarsekar. Selain itu, ia juga memboyong kedua pembantu setianya yaitu Kyai dan Nyai Brengkut.

Suatu hari, tepatnya hari Jumat Kliwon di bulan Sapar, Kyai Wirasuta bersama istrinya sedang membersihkan halaman pesanggrahan. Tanpa mereka duga sebelumnya, Gunung Gamping yang berada di dekat pesanggerahan itu runtuh. Karena posisinya berada sangat dekat dengan gunung itu, mereka pun tidak sempat menyelamatkan diri sehingga tertimbun batu-batu kapur. Ketika peristiwa itu terjadi, keempat putra-putri serta kedua pembantunya masih sempat melarikan diri bersama sebagian warga lainnya sehingga selamat dari musibah. Sementara hewan ternaknya hanya ada 3 ekor yang selamat yaitu seekor merpati memakai sawangan, seekor burung puyuh bergelang emas, dan seekor landak berkalung sapu tangan merah.

Mendengar kabar tentang musibah yang menimpa kedua abdi dalem kesayangannya itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan para prajurinya untuk membongkar reruntuhan batu-batu kapur yang ada di Gunung Gamping itu. Namun, hingga batu kapur itu selesai disingkirkan, jasad Kyai Wirasuta dan istrinya tidak diketemukan. Kedua jasad tersebut menghilang tanpa jejak.

Di istana Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I duduk termenung mengenang kedua abdi dalem-nya itu. Hatinya sangat sedih karena kehilangan orang-orang yang disayanginya. Kesedihan yang dirasakan sang Raja hingga berbulan-bulan lamanya. Ketika kesedihan itu mulai lenyap, sang Raja kembali dikejutkan oleh laporan dari abdi dalem-nya.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba baru saja mendapat kabar bahwa beberapa penduduk Ambarketawang tertimbun reruntuhan batu kapur,” lapor abdi dalem itu.

Mendengar laporan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I kembali berduka. Musibah itu kembali mengingatkannya kepada Kyai Wirasuta dan istrinya. Kebetulan, musibah itu juga terjadi pada bulan Sapar. Demikian seterusnya, hampir setiap bulan Sapar, penduduk Ambarketawang kerap mendapat musibah yang serupa. Oleh karena itulah, masyarakat meyakini bahwa meskipun jasadnya telah menghilang, jiwa dan arwah Kyai dan Nyai Wirasuta masih tetap ada di Gunung Gamping. Dengan keyakinan itu, mereka pun menjadi resah. Mereka pun khawatir mengumpulkan batu-batu kapur di sekitar gunung itu, terutama pada bulan Sapar.

Mengetahui keresahan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I pun bertitah kepada masyarakat Ambarketawang agar setiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan. Upacara itu juga bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar melindungi masayarakat dari musibah. Adapun wujud upacara selamatan itu berupa penyembelihan bekakak yang dilengkapi dengan beberapa perangkat upacara lainnya seperti tumpeng, ingkung ayam, jajan pasar, dan lain sebagainya. Penyembelihan bekakak dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyai Wirasuta dan warga lain yang tertimpa musibah.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Upacara Bekakak dari Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga kini, upacara Bekakak masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Ambarketawang, Gamping, dan selalu digelar pada hari Jumat, antara tanggal 10 hingga 20 dalam bulan Syafar. Saat ini, upacara Bekakak telah menjadi agenda wisata budaya sehingga pergelarannya selalu dikemas secara atraktif untuk menarik perhatian para wisatawan.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah seorang abdi atau bawahan yang setia pada tuannya akan selalu dikenang jasanya. Demikian yang terjadi pada Kyai dan Nyai Wirasuta. Atas kesetiaan dan pengabdiannya, jasa-jasa mereka terus dikenang hingga saat ini.

Sumber: ceritarakyat.com

Cerita Kali Gajah Wong

Dipinggiran kota Yogyakarta terdapat sebuah sungai yang oleh penduduk sekitar dinamakan kali Gajah Wong, berikut cerita tentang Kali Gajah Wong tersebut.
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilo­me­ter arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.

Setiap pagi, gajah Sultan yang ber­­­­nama Kyai Dwipangga itu selalu di­mandi­kan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan ter­biasa dengan perlakuan lembut Ki Sa­pa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus beker­ja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun ka­re­na terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pin­cang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.

“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.

“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi ba­gai­mana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.

“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.

Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat me­­nuju sungai bersama Ki Dwipangga. Ba­dan gajah itu dua kali lipat badan ker­bau, belalainya panjang, dan gadingnya ber­warna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok mem­bawakan dua buah kelapa muda un­tuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.

“Nih, ambillah untuk sarapan …,” cele­tuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.

“Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwi­­pang­ga dengan belalainya lalu di­banting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.

Setibanya di sungai, Ki Kerti menyu­ruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan ga­jah itu. Ia menggosok-gosok tubuh ga­jah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.

“Kang, gajahnya sudah saya mandi­kan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.

“Ya, terima kasih. Aku harap besok pa­gi kamu pergi memandikan Ki Dwi­pang­ga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap ce­rutunya.

Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira un­­tuk men­­jemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pe­jok membawa Ki Dwipangga menuju su­ngai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa ka­re­na sungai tempat memandikan gajah tersebut ke­li­hat­an dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandi­kan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia mem­bawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.

“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan un­tuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pe­jok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok meng­­gerutu, tiba-tiba banjir bandang da­tang dari arah hulu.

“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan teng­gelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati kare­na tidak ada seorang pun yang dapat me­nolongnya.

Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah meng­hanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.

Kanjeng : tuan.

Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.

Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.

Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.

Buntut : ekor.

Tulung : tolong.

Kali : sungai.

Wong : orang.

Penulis: Henry Artiawan Yudhistira
Sumber :  ceritarakyat.com 
 
jos